5 April 2010

Good Governance Brief: Peran DPRD dalam Meningkatkan Otonomi Daerah dan Tata Pemerintahan yang Baik

Tinjauan ini memotret bagaimana DPRD membuka diri kepada masyarakat untuk mendapatkan masukan bagi penyusunan kebijakan publik dan pengawasannya, menggambarkan peran dan fungsi DPRD, isu-isu penting, tantangan dan peluang bagi penguatan peran DPRD sebagai pendukung otonomi daerah dan tata pemerintahan yang baik. Dikemukakan pula peluang bagi peningkatan keterlibatan warga dalam penyusunan kebijakan oleh DPRD, serta usulan untuk langkah selanjutnya berdasarkan rekomendasi dari konferensi nasional yang diselenggarakan LGSP pada bulan November 2007.

Lebih Lanjut.............

Silahkan Download
Good Governance Brief: Peran DPRD dalam Meningkatkan Otonomi Daerah dan Tata Pemerintahan yang Baik

Penulis: LGSP

Bapeda Tasik Peran Musrenbang Strategis

Musyawarah Perencanaan Pengembangan (Musrenbang) merupakan sebuah rangkaian proses pembangunan Daerah untuk mensinkronkan antara desa dengan kecamatan melalui proses perencanaan untuk menghasilkan sebuah dokumen yang akan dijadikan landasan dalam kebijakan anggaran. Sehingga tidak ada lagi kebijakan yang keluar dari dokumen Itu.

Kepala Bapeda Kab Tasikmalaya Iwan Saputra SE. MSi Rabu (17/3) di Aula Pendopo Kab Tasikmalaya, mengatakan Musrenbang berperan untuk menyinkronkan apa yang menjadi skala prioritas sehingga tertampung dalam usulam APBD. "Forum ini harus betul-betul mampu membuat usulan yang mengarah pada pembenahan dengan konsekwensi sebuah prioritas harus mengorbankan prioritas lainnya." kata Iwan.

Semua program harus kita susun dengan tujuan utamanya adalah untuk menanggulangi serta menuntaskan kemiskinan sesuai data pada tahun 2008 menyatakan sebanyak 20 persen masyarakat Kab Tasikmalaya masih dalam kategori rumah tangga miskin darijumlah penduduk 1.7Juta Jiwa.

Dari 30 bayi yang lahir Jika diseimbangkan dengan kondisi ekonomi mencapai 20 persen bayi yang lahir sudah masuk dalam kategori miskin. Ini bukan hanya menjadi persoalan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) saja tapi sudah menjadi tanggugjawab semua.
Juga daya dukung alam harus dijadikan fokus pembangunan untuk menunjang PAD, ini membutuhkan pola pikir yang slnerji untuk mencapai kearah itu sehingga program ke depan salah satunya menyikapi perkembangan penduduk.

Dalam pelayanan kesehatan masih sangat Jauh dari target, sehingga tahun 2011 meningkatkan kesehatan Masyarakat khususnya rumah tangga miskin menjadi skala prioritas. Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun Juga masih belum memenuhi terget apalagi wajar 12 tahun itupun harus menjadi prioritas.
Anggka melek huruf berdasarkan dara tahun 2009 sebanyak 99.11 persen. Jadi masih banyak Masyarakat Tasikmalaya yang belum mengenal huruf Juga daya bell masuk menduduki angka yang cukup rendah dibandingkan dengan rata-rata Jawa Barat berdasarkan indikator makro tahun 2009/2010.

Data pengangguran tahun 2008/2009 ada kenaikan dengan adanya perubahan angka yang bekerja diatas usia 10 tahun sedangkan pada tahun 2009 data pekerja diatas 12 tahun. Anggaran belanja pegawai masih akan tetap mendominasi dan menyerap proporsi belanja tahun 2011. sedangkan Alokasi Dana Desa (ADD) akan dipertahankan serta diperbaiki dengan mempertimbangkan Jumlah Penduduk miskin, tuturnya.

Menurut Ketua Asosiasi Perangkat Desa (Apdesl) Kab Tasikmalaya Ade Mustopa masih banyak perangkat Desa yang hingga kini kesejahteraannya belum layak ini harus menjadi pertimbangan. Rukun Tetangga (RT) sebagai perangkat Desa yang paling depan hingga kini belum dapat kesejahteraan. Juga Hansip, dalam musrenbang Ini akan diusulkan masuk dalam APBD, tuturnya. Dalam satu triwulan hanya mendapat Rp25.000Jadi untuk menanggulangi kesejahtc-raanya diambil dari urunan Desa baik untuk Rt maupun Hansip itu pun tidak tentu

Sumber:
Radar Tasikmalaya

Indonesia Dan Masalah Trafficking

Anak-anak merupakan generasi bangsa yang akan datang, kehidupan anak-anak merupakan cermin kehidupan bangsa dan negara. Kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu negara memberikan jaminan kepada anak-anak untuk dapat hidup berkembang sesuai dengan dunia anak-anak itu sendiri, sedangkan kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan rasa ketakutan, traumatik, sehingga tidak dapat mengembangkan psiko-sosial anak, merupakan cermin suatu negara yang tidak peduli pada anak-anak sebagai generasi bangsa yang akan datang. Disisi lain masa anak-anak merupakan masa yang sangat menentukan untuk terbentuknya kepribadian seseorang.
Meski Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak dan telah mengeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara obyektif yang terjadi di kehidupan anak-anak adalah masih belum teratasinya masalah anak yang terjadi di Indonesia, khususnya lagi kasus child trafficking yang semakin tidak bisa ditolerir dengan akal sehat ( the most intolerable forms) . Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan child trafficking adalah terdapat pada Pasal 59, Pasal 68. dan yang mengatur tentang sanksi pidananya adalah Pasal 78, Pasal 83. dari hal itu semua pada dasarnya Pemerintah telah memperkuat instrumen hukum tentang child trafficking, seperti KILO 182, CRC, Optional Protocol of CRC on sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography, namun hal tersebut hingga saat ini isu child trafficking masih belum memperoleh intervensi yang signifikan.

INDONESIA DAN MASALAH TRAFFICKING

LATAR BELAKANG
Anak-anak merupakan generasi bangsa yang akan datang, kehidupan anakanak merupakan cermin kehidupan bangsa dan negara. Kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu negara memberikan jaminan kepada anak-anak untuk dapat hidup berkembang sesuai dengan dunia anak-anak itu sendiri, sedangkan kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan rasa ketakutan, traumatik, sehingga tidak dapat mengembangkan psiko-sosial anak, merupakan cermin suatu negara yang tidak peduli pada anak-anak sebagai generasi bangsa yang akan datang. Disisi lain masa anak-anak merupakan masa yang sangat menentukan untuk terbentuknya kepribadian seseorang.
meski Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak dan telah mengeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara obyektif yang terjadi di kehidupan anak-anak adalah masih belum teratasinya masalah anak yang terjadi di Indonesia, khususnya lagi kasus child trafficking yang semakin tidak bisa ditolerir dengan akal sehat (the most intolerable forms). Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan child trafficking adalah terdapat pada Pasal 59, Pasal 68. dan yang mengatur tentang sanksi pidananya adalah Pasal 78, Pasal 83. dari hal itu semua pada dasarnya Pemerintah telah memperkuat instrumen hukum tentang child trafficking, seperti KILO 182, CRC, Optional Protocol of CRC on sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography – namun hal tersebut hingga saat ini isu child trafficking masih belum memperoleh intervensi yang signifikan. Pada dasarnya child trafficking adalah penggunaan anak yang dilibatkan dalam eksploitasi ekonomi maupun seksual dan lain-lain oleh orang dewasa atau pihak ketiga untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang maupun bentuk yang lain. Dalam kaitannya dengan anak, elemen “consent” (kerelaan atau persetujuan) tidak diperhitungkan, karena anak tidak memiliki kapasitas legal untuk bias memberikan (atau menerima) informed consent. Setiap anak, karena umumnya harus dianggap tidak mampu memberikan persetujuan secara sadar terhadap berbagai hal yang dianggap membutuhkan kematangan fisk, mental, sosial, dan moral bagi seseorang untuk bias menentukan pilihannya, oleh karenanya anak adalah korban (victim) dan bukan pelaku kejahatan (criminal actor).

Ada beberapa criteria anak yang beresiko child trafficking, antara lain:
1. Anak yang secara sosial – ekonomi berasal dari keluarga miskin –
2. kelompok marginal, baik yang tinggal di pedesaan dan didaerah kumuh
3. perkotaan.
4. Anak putus sekolah
5. Anak korban kekerasan dan perkosaan
6. Anak jalanan,
7. Anak pecandu narkoba
8. Anak yatim
9. Pengemis/peminta-minta
10. Anak korban penculikan
11. Anak korban bencana alam
12. Anak yang berasal dari daerah konflik

FAKTA DAN DATA
Dalam data yang diungkap, sejumlah 150 juta orang diperdagangkan dengan mengalirkan sekitar 7 miliar dolar per-tahun. Di Indonesia, perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan sekitar 700.000 s/d 1.000.000 orang. Pada tahun 1999, tercatat anak dan perempuan yang diperdagangkan mencapai sekitar 1.718 kasus. Angka ini, pada tahun 2000, tercatat sejumlah 1.683 kasus, dengan berbagai lokasi yang terdeteksi, seperti Jakarta, Medan, bandung, Padang, Surabaya, Bali dan Makasar. Berdasarkan laporan investigasi kalangan NGO di Medan, diungkapkan kasus perdagangan anak yang akan dilacurkan (Child Prostituted) di Dumai, propinsi Riau (Data PBB yang dimuat di harian media Indonesia, 26 februari 2003, hal 10). Pada laporan Poltabes Balerang, kasus perdagangan perempuan dan anak yang masuk ke Poltabes balerang pada tahun 2003, terdapat 84 kasus dan dapat diselesaikan sebanyak 65 kasus atau 77,38%. Sedangkan pada tahun 2004 sampai bulan mei, terdapat 57 kasus. Sedangkan kondisi Ekploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di Lingkungan Pariwisata Indonesia sangatlah memprihatinkan, ini dapat dilihat dengan
indicator besaran yang dikeluarkan dalam kertas kerja the Government of The Republic of Indonesia yang disampaikan pada Konfrensi ESKA II tahun 2001 di Yokohama Jepang, bahwa sekitar 30% atau 40.000 s/d 70.000 Pekerja Seksual Komersial adalah anak dibawah umur. Ini mengindikasikan bahwa kehidupan anak di Indonesia sangat rentan dengan ESKA, apalagi anak-anak yang hidup di lingkungan keluarga miskin, anak terlantar, buruh anak, anak jalanan, maupun anak korban kekerasan, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan anak dalam situasi demikian merupakan seorang korban dari “mekanisme” berbangsa yang menciptakan kemiskinan, ketidakadilan, pelanggaran hukum – yang didisain dan dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak.
MELAWAN CHILD TRAFFICKING
Banyak hal yang harus dilakukan didalam memerangi atau mencegah child trafficking, antara lain:
1. Terus menerus melakukan kampanye guna membangun kesadaran permanan dikalangan masyarakat maupun sector industri, juga komitmen pemerintah dan penegak hukum guna mendukung perlindungan anak dari child trafficking.
2. Mewujudkan mekanisme kerjasama dan aksi dalam segenap institusi masyarakat dan lembaga-lembaga usaha yang bisa bersinergi untuk memberikan perlindungan anak dari child trafficking.
3. Tersedianya mekanisme nasional dan daerah – antara lain dengan cara bersinergi dalam bentuk task force (kelompok kerja) yang bisa langsung bekerja di lapangan secara komprehensif dan terus menerus didalam memberikan perhatian dan penanganan perlindungan anak dari child trafficking.
4. Perlunya dikeluarkan produk hukum anti trafficking yang pro perlindungan anak dari dari tindak pidana perdagangan anak dan bertujuan untuk perlindungan hukum bagi anak korban child trafficking.

PENUTUP
Melindungi anak hari ini, adalah investasi bagi masa depan bangsa. Selain alasan itu, kepemihakan pada anak sudah menjadi esensi kemanusiaan itu sendiri. Karenanya, tindakan paradoks yang mengeksploitasi anak, secara ekonomi maupun seksual – berada di luar konteks kemanusiaan yang hakiki. Oleh karenanya Komisi Nasional Perlindungan Anak selalu mendukung langkahlangkah yang diambil pemerintah dan semua pihak yang mempunyai kepedulian dalam mendukung perlindungan anak dari child trafficking (perdagangan anak). Hal ini berarti kita semua telah menciptakan keberlangsungan generasi bangsa dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di masa datang.

4 April 2010

Menelusuri Simpul Penyebab Kemiskinan Masyarakat Desa

Bukan rahasia lagi, pemberdayaan ekonomi kerakyatan di perdesaan menghadapi berbagai masalah yang tidak sederhana. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, lebih kurang 51 ribu desa merupakan desa perdesaan, dan sekitar 20.633 desa diantaranya tergolong miskin. Kemiskinan yang diderita masyarakat desa, khususnya petani dan nelayan tradisional, antara lain akibat pengurasan asset perdesaan selama ini. Berbagai pemberdayaan perekonomian rakyat di perdesaan kurang berhasil, dan kemiskinan itu sudah diterimanya sebagai warisan yang turun temurun.
Beberapa faktor penyebab kemiskinan itu tergambar dari kesimpulan hasil pantauan Ir. Moch Yusuf Gayo, Direktur Perdesaan Wilayah Tengah, yang bersama timnya telah melakukan pengamatan di beberapa desa di wilayah kerjanya.
ADA KONDISI yang dilematis. Muncul perilaku ketergantungan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejabteraannya sendiri. Kreativitas dan prakarsa masyarakat, rendah. Itulah persoalan yang rata-rata terjadi di perdesaan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Banyak faktor yang saling berkait.
Selama ini pembangunan fisik tanpa pengikutsertaan partisipasi masyarakat. Pola demikian paling mungkin menjadi penyebab rendahnya kreativitas dan prakarsa masyarakat, bahkan "membudayanya" perilaku ketergantungan itu tadi. Apalagi pembangunan fisik yang dilakukan tanpa dibarengi pengembangan SDM. Ditambah lagi dengan pembangunan PSD perdesaan belum didasarkan pada sisi kebutuhan saja, sehingga efisiensinya tidak optimal.
Pembangunan dan perkembangan perdesaan jauh tertinggal dibandingkan dengan perkotaan. Sentra-sentra kegiatan ekonomi utama perdesaan yang berbasis pada agrobisnis dan pemanfaatan sumber daya alam belum berkembang secara optimal. Sektor ekonomi lainnya, seperti industri kecil dan kerajinan rakyat masih sangat terbatas.
Sarana dan prasarana perdesaan, terutama jaringan jalan, air bersih den sanitasi sangat tidak memadai. Selain itu sarana dan prasarana pengairan yang telah dibangun serta O&P-nya ditangani pemerintah dalam kondisi kurang terpelihara

Produktivitas Rendah
Permasalahan yang juga serius adalah kerusakan lingkungan di perdesaan semakin meluas. Hal itu akibat pemanfaatan sumber daya alam serta usaha agrobisnis yang kurang didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi, penyebab terjadinya berbagai macam bencana yang menimpa masyarakat perdesaan.
Dalam segi produktivitas, harus diakui bahwa penguasaan teknologi dan SDM belum memadai, sehingga produktivitas petani masih rendah, tidak mampu menghasilkan produk olahan dan komoditas primer pertanian yang bernilai tambah lebih tinggi.

Menjarah
Nilai tambah terbesar agribisnis yang umumnya belum dikuasai oleh para petani berada pada subsistem hulu (up-stream) dan subsistem hilir (down-stream).
Sebenarnya banyak bidang usaha ekonomi kerakyatan yang bersifat massal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat desa sendiri, tetapi kenyataan masyarakat perdesaan hanya menjadi penonton di luar arena. Mengapa demikian? karena bidang-bidang itu pun ditangani oleh para pengusaha besar. Padahal seharusnya pengusaha besar itu dapat berperan dalam pembinaan dan pemasarannya saja.
Suatu fakta, bahwa berbagai upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang dikembangkan oleh Pemerintah, banyak yang kurang berhasil. Contohnya saja kredit yang diberikan kepada petani, macam KUT banyak yang macet pengembaliannya. Anehnya, setelah ditelusuri ternyata malah bukan petaninya yang menerima, banyak oknum pengurus yang memanfaatkan dana jatah usaha tani ini.
Begitu pula dengan KUD-KUD yang hampir ada di setiap desa atau kecamatan. Ketika petani akan menjual hasil produksinya, macam-macam alasannya, petani yang lagi butuh dana tadi terpaksa harus rela melego hasil jerih payahnya itu ke tengkulak.
Tak jauh beda dengan nasib nelayan, umumnya nelayan ini paling gampangnasibnya dimainkan oleh tengkulak atau bandar bandar ikan. Karena mereka ini umumnya memang hanya bermodalkan tenaga saja. kapal penangkap ikan harus sewa, termasuk modal untuk bahan bakarnya. Sesampai di darat, nelayan ini hanya bisa pasrah menjual hasil tangkapannya ini di tangan para bandar yang kadang dengan sesukanya memainkan harga pasar di tempat-tempat pelelangan. Maka disini tidak heran jika para nelayan itu tidak lebih dari sapi perahan saja. Kehidupan keluarganya tetap saja melarat, gubuk reyot tempat berlindung anak-istri tak mampu diperbaikinya, apa mau dikata mereka ini sudah menganggap kemelaratan ini seakan sudah menjadi warisan yang turun-temurun bagi mereka.

Penyebab Kemiskinan
Adalah kewajiban bagi pemerintah di era reformasi ini untuk mengurai simpul-simpul penyebab kemelaratan masyarakat kecil di perdesaan. Ini adalah hutang pemerintah, untuk mengangkat harkat dan derajad mereka, itulah kata yang sering kali diucapkan oleh Ir. Erna Witoelar, Menteri Kimpraswil yang memang sangat perhatian terhadap masyarakat bawah itu.
Dari hasil penelitihan Tim Yusuf gayo itu, paling tidak bisa disimpulkan ada beberapa faktor utama penyebab semakin terpuruknya kondisi ekonomi masyarakat desa itu(petani, nelayan, perajin, peternak dan buruh).

Pertama
Kuatnya posisi pedagang perantara yang didukung oleh birokrat perdesaan yang juga turut menikmati sebagian keuntungana dari mekanisme pasar yang tidak berpihak pada petani

Kedua
seluruh pasar baik lokal, regional maupun eksport umumnya telah dikuasai pedagang dengan distribusi income yang semakin tidak adil bagi produsen di perdesaan.

Ketiga
bantuan-bantuan pemerintah seperti JPS sangat kecil yang benar-benar sampai kepada masyarakat yang menjadi target.

Keempat
tingkat pendidikan masyarakat desa yang relatif rendah sehingga tidak mampu menerima modernisasi dalam upaya meningkatkan teknologi untuk mengefisiensikana kegiatan ekonomi mereka.

Tantangan Ke Depan
Lalu bagaimana melibas simpul-simpul penyebab kemiskinan masyarakat perdesaan ini ? Tujuan pengembangan perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan secara bertahap. Polanya pun tinggal menerapkan. Yaitu melalui
a. Pembentukan lembaga koperasi oleh masyarakat, agar masyarakat mampu melaksanakan prosesing, pemasaran dan melindungi dirinya dari ulah para spekulan,
b. Pengembangan produk pertanian unggulan yang berkualitas dan berdaya saing,
c. Peningkatan kesempatan berusaha dan bekerja guna peningkatan pendapatan,
d. Pengembangan lembaga-lembaga Pemerintah untuk memfasilitasi kebutuhan modal,

kegiatan usaha dan pengembangan SDM di perdesaan.
Kini pendekatan pengembangan perdesaan dilaksanakan secara holistik melalui core business yakni penyediaan prasarana dan sarana dasar perdesaan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, sehingga dicapai pembangunan yang berkelanjutan.
Pengembangan perdesaan melalui bina manusia, bina lingkungan, dan bina usaha (Tribina). Sedangkan bina usaha meliputi usaha-usaha pengembangan agribisnis, industri kecil/pengolahan, kerajinan rakyat, pariwisata (agro-eko-kultur). Semua itu termasuk distribusi dan pemasarannya serta pemanfaatan sumber daya alam, diimbangi dengan tumbuhnya agropolitan.
Konsep dan pendekatan baru tersebut menurut Ir. Moch Yusuf gayo yang telah melakukan kajian tentang penyebab kemiskinan di perdesaan tersebut adalah merupakan solusi jitu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Jadi tantangan ke depan tak lain adalah mewujudkan semua itu.

Sumber:
http://www.pu.go.id/

Pentingnya Pendidikan seks bagi remaja

Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Namun jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong usia dewasa. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke dalam kelompok remaja. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang remaja dan pendidikan seks, terutama yang berhubungan perkembangan seks. Ada kesan pada remaja bahwa seks itu menyenangkan, puncak rasa kecintaaan, tidak ada kedukaan, tidak menyakitkan bahkan membahagiakan, sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan. Seks hanya berkisar prilaku seks semata yang disertai birahi, bahkan ada yang beranggapan bahwa gaul atau tidaknya seorang remaja dilihat dari pengalaman seks mereka, sehingga ada opini “seks adalah sesuatu yang menarik dan perlu dicoba“ (dikenal dengan istilah sexpectation).

Pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawab yang ada padanya, halal haram berkaitan dengan organ seks dan panduan menghindari penyimpangan dalam prilaku seksual mereka sejak dini.
Memang masa remaja adalah masa yang sangat didominasi dengan masalah-masalah seks. Remaja juga akan sangat memperhatikan masalah-masalah seks. Banyak remaja yang mengkonsumsi bacaan-bacaan porno, melihat film-film blue dan semakin bertambah ketika mereka berhadapan dengan rangsangan seks seperti suara, pembicaraan, tulisan, foto, sentuhan, film. Bahkan semakin hari semakin bervariatif. Padahal apabila remaja sudah terjatuh dalam kegiatan seks yang haram, maka akibatnya sudah tidak bisa dibayangkan lagi:
1. Hilangnya harga diri bagi remaja laki dan hilangnya keperawanan bagi perempuan.
2. Perasaan berdosa yang mendalam, terkadang berakibat menjadi lemah dan semakin jauh dengan Allah SWT.
3. Perasaan takut hamil.
4. Lemahnya kepercayaan antara dua pihak.
5. Apabila hubungan ini diteruskan, akan menjadi hubungan yang gagal, terlebih bila dikembalikan dengan hukum syari’at.
6. Penghinaan masyarakat terhadap remaja laki-laki dan perempuan, juga kepada keluarganya.

Bagaimana solusinya? DR. Akram Ridho Mursi memberikan solusinya, sebagai berikut:
Pertama, dengan meminimalkan hal-hal yang merangsang, mengekang ledakan-ledakan nafsu dan menguasainya. Sebab, sesungguhnya tuntuntan untuk memenuhi hasrat biologis didorong oleh dua sebab:
• Ekstern, dengan jalan rangsangan. Pada awalnya memori seks dibentuk oleh stimulasi eksternal (bukan persepsi).
• Intern, dengan jalan berpikir dan bertindak.

Kedua, dengan menjaga diri (Isti’faaf). Hal ini merupakan bagian dari proses sebagai berikut:
1. Memahami diri. Dimana remaja putra dan putri memahami tentang jati dirinya. Menyadari akan tugas dan tanggungjawab hidup, mengerti hubungan dirinya dengan lingkungannya, (Al Hajj: 77)
2. Kualitas akhlak. Menyadari batas-batas nilai, tugas masyarakat. Kecil dan besar, komitmen dengan tanggung jawab bersama dalam masyarakat.
3. Kesadaran beragama. Perasaan taqwa dan muroqabah-Nya. Al Alaq: 14.
4. Perasaan damai di rumah. Terbangun dari keterbukaan, cinta kasih, saling memahami diantara sesama anggota keluarga.
5. Pengawasan yang cerdas dari orang tua.
6. Komitmen dengan aturan-aturan Allah SWT dalam berpakaian dan dalam bergaul dengan lawan jenis.
7. Menghindari pergaulan bebas dan mencegah berduaan tanpa mahram.

Apa yang bisa orangtua lakukan agar anak dan remaja tak sungkan berkomunikasi tentang seks ?
1. Ubah cara berpikir anda. Bahwa makna pendidikan seks itu sangat luas, tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan hubungan seksual. Tapi di dalamnya ada perkembangan manusia (termasuk anatomi dan fisiologi organ tubuh, terutama organ reproduksi); hubungan antar manusia (antar keluarga, teman, pacar dan perkawinan); kemampuan personal (termasuk di dalamnya tentang nilai, komunikasi, negosisasi dan pengambilan keputusan); perilaku seksual; kesehatan seksual (meliputi kontrasepsi, pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, aborsi dan kekerasan seksual); serta budaya dan masyarakat (tentang jender, seksualitas dan agama).

2. Mengajarkan tentang pendidikan seks sejak dini. Seperti saat anda mulai mengajari “ini hidung”, atau “ini mulut”, maka pada saat itulah anda mengajarinya “ini penis” atau “ini vulva” . Jangan menggunakan istilah-istilah yang tidak tepat (misalnya “nenen” untuk mengganti kata payudara atau yang lainnya), karena dengan demikian tanpa sengaja kita telah membuat dikotomi, antara organ yang biasa dan organ yang “jorok” atau tabu atau negatif. Karena persepsi tentang bagian tubuh yang keliru akan berdampak negatif bagi anak di masa yang akan datang.

3. Manfaatkan ‘Golden Moments”, misalnya saat sedang menonton teve yang sedang menayangkan kasus perkosaan, saat sedang melakukan aktivitas berdua (masak, membereskan tempat tidur), dan lain-lain.

4. Dengarkan apa yang diucapkan anak dengan sungguh-sungguh, pahami pikiran dan perasaan mereka. Dengan demikian mereka akan merasa diterima, jika sudah merasa diterima, mereka akan membuka diri, percaya dan mudah diajak kerja sama.

5. Jangan menceramahi. Anak umumnya tidak suka diceramahi. Karena pada saat kita menceramahi seseorang, biasanya kita “menempatkan” diri kita lebih tinggi darinya. Bukan dengan cara ini kita bisa berkomunikasi dengan mereka.

6. Gunakan istilah yang tepat, sesuai dengan usianya. Misalnya saja kalau anak anda sudah beranjak remaja, maka gunakanlah bahasa gaul yang biasa digunakan remaja, sehingga anak tidak merasa sungkan menanggapi pembicaraan anda.

7. Gunakan pendekatan agama. Kita harus meyakini bahwa segala masalah dan persoalan di dunia ini harus diselesaikan dengan nilai-nilai agama. Karena nilai-nilai agama tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Anak-anak juga harus diajak mempraktekkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

8. Mulai saat ini juga. Begitu anda membaca artikel ini, mulai susun strategi apa yang akan anda gunakan untuk mulai mengajak anak berbicara. Yang perlu diingat yaitu bahwa anak adalah orang tua di masa yang akan datang, maka dari itu harus kita persiapkan sedemikian rupa agar menjadi generasi yang siap menghadapi masa depan dengan segala rintangannya. Percayalah, bahwa anda merupakan orang yang paling tepat dalam hal ini, dengan mempercayai diri sendiri, anda pun telah memberikan kepercayaan pada anak..

Penutup
Sedemikian mendesaknya pendidikan seks yang sebenarnya bagi anak-anak dan remaja. Tentunya bukanlah pendidikan seks yang lebih menekankan pada sisi aman dan sehat dalam berhubungan seks bebas. Pendidikan seks seperti ini tidak akan mengurangi timbulnya penyakit kelamin atau hamil pra nikah, karena tidak mengubah kebiasaan seks mereka.

Kita menginginkan pendidikan seks yang sesuai dengan fitrah sebagai manusia, ingin menjaga harga diri dan kehormatan diri sesuai dengan yang diingini oleh Allah SWT. Bukankah Islam sudah mencontohkan dan mengajarkan pencegahan prilaku seksual yang terlarang sejak dini?

Firman Allah dalam surah Al Isra’ ayat 32, yang artinya "Dan janganlah kamu mendekati Zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan merupakan jalan yang buruk". Wallahu A’lam.

Daftar bacaan.
• Terjemah Al Qur’an, DEPAG RI, 1989
• Muhammad Sa’id Mursy, Abnaaunaa kaifa nabniihim wa nahmiihim 2005
• Akram Ridho Mursy DR, Jadi Remaja Penuh warna Perjalanan, Menemukan jati Diri, 2007
• Abdullah nashih Ulwan, Tarbiyatu Al Aulad, 1993
• Shinta Santi, Lc Mendidik Anak Menuju Surga, 2002
• Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, 1993
• Situs Kesehatan Reproduksi

Disampaikan oleh Nurhayati Syarifuddin, S.Pd. ibu rumah tangga dengan tiga orang anak, pada acara Seminar perempuan dengan Tema “Seksologi; Antara Perlu dan Tabu” Di Aula Wisma Nusantara, Kamis, 22 November 2007 yang diselenggarakan kerjasama Fatayat NU Mesir, Majlis Ta’lim Al-Muttaqin dan Pengajian An-Nisaa KPSBI KBRI Cairo.

3 April 2010

MENGENAL ADVOKASI

Arti Penting Advokasi
Pada mulanya advokasi muncul dalam pengertian pembelaan terhadap berbagai kasus-kasus hukum yang ada dalam masyarakat. Karena berkaitan dengan wilayah hukum, maka advokasi kerapkali dimengerti sebagai tindakan litigasi oleh seorang yang dinamakan Advocaat, Advocateur, dalam bahasa Belanda yang berarti; pengacara, pembela, dan peguam untuk menangani berbagai sengketa hukum di masyarakat. Namun pada perkembangannya kerja advokasi tidak sekedar melakukan pembelaan dalam wilayah hukum tetapi juga yang berkaitan dengan kebijakan publik.
Sebagai kegiatan yang bertujuan untuk melakukan perubahan kebijakan publik, kegiatan advokasi dapat didefinisikan sebagai, upaya nyata untuk memperbaiki atau merubah suatu kebijakan publik sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan dan perubahan tersebut. Dapat juga advokasi didefinisikan, sebagai suatu usaha yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir untuk melakukan aksi dengan target untuk; terbentuknya atau terciptanya kebijakan atau praktek baru, atau perubahan kebijakan, serta implementasi terhadap suatu kebijakan, yang diharapkan akan menguntungkan kepentingan dan perjuangan pihak yang melakukan advokasi.

Advokasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai, proses komunikasi dalam bentuk verbal dan atau tertulis yang dilakukan untuk menciptakan perubahan dalam sikap, prioritas atau kebijakan melalui penggunaan suatu alasan yang masuk akal sesuai dengan target group (sasaran). Secara sederhana sesungguhnya kerja advokasi adalah MEMPENGARUHI serta MENGUBAH. Dua kata kunci ini harus selalu ada dalam kerja advokasi, kalau bisa kita katakan advokasi adalah “bagaimana mempengaruhi siapa dalam rangka mengubah apa dan mengapa ?”.

Menurut almarhum Mansour Faqih (2000) adalah media atau cara yang digunakan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju, sedangkan dalam buku “membela taman sebaya” disebutkan bahwa: “Advokasi is defined is the promotion of cause or the influenching of policy, founding streams or other politically determined activity”. Artinya advokasi adalah promosi sebab atau pengaruh sebuah kebijakan atau aktifitas lainnya yang ditentukan secara politik. Advokasi juga merupakan langkah untuk merekomendasikan gagasan kepada orang lain atau menyampaikan suatu issu penting untuk dapat diperhatikan masyarakat serta mengarahkan perhatian para pembuat kebijakan untuk mencari penyelesaiannya serta membangun dukungan terhadap permasalahan yang diperkenalkan dan mengusulkan bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut.

Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan perubahan, dengan memberikan sokongan dan pembelaan terhadap kaum lemah (miskin, terbelakang, dan tertindas) atau terhadap mereka yang menjadi korban sebuah kebijakan dan ketidak adilan.

Dalam konteks kehidupan sosial keagamaan dan kemanusiaan, advokasi lebih merupakan penerjemahan secara praksis dari nilai nilai keagamaan yang berdimensi sosial, sekaligus sebagai gerakan pembebasan dan kemanusiaan. Tujuannya adalah terjadinya transformasi struktur dari struktur yang menindas dan tidak berpihak kepada kaum lemah kepada struktur yang secara sosial, politik, dan ekonomi, lebih manusiawi, etis, egalitarian, dan berkeadilan—bukan untuk mengantarkan kelas mustadha’afin menegakkan kediktatoran baru.
Advokasi ketika dikaitkan dengan skala masalah yang dihadapi bisa dikategorikan kepada tiga jenis:
1. Advokasi diri, yaitu advokasi yang dilakukan pada skala lokal dan bahkan sangat pribadi. Misalnya saja ketika seorang pelajar tiba tiba diskorsing oleh pihak sekolah tanpa adanya kejelasan, maka advokasi yang dilakukan adalah dengan cara mencari kejelasan atau klarifikasi kepada pihak sekolah.
2. Advokasi kasus, yaitu advokasi yang dilakukan sebagai proses pendampingan terhadap orang atau kelompok yang belum memiliki kemampuan membela diri dan kelompoknya.
3. Advokasi kelas, yaitu sebuah proses mendesakkan sebuah kebijakan publik atau kepentingan satu kelompok masyarakat (dalam hal ini pelajar dan remaja) dengan tujuan akhir terwujudnya perubahan sistematik yang berujung pada lahirnya produk perundang undangan yang melindungi atau berubahnya legislasi yang dianggap tidak adil. Advokasi jenis ini melibatkan stakeholder yang lebih banyak dan proses yang lebih sistematis.

Kata advokasi sering kali kita dengar bahkan secara tidak sadar kita telah melakukan advokasi baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan masyarakat. Dalam kerja advokasi ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian; pertama, bahwa apa yang terjadi dalam masyarakat mulai dari penindasan, teror, intimidasi, kekerasan serta konflik-konflik dalam keluarga merupakan suatu hal yang harus terus menerus di perjuangkan dan diposisikan sesuai dengan keadilan dan kebenaran, sesuai dengan norma- norma hukum maupun norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Dan hal tersebut merupakan hak dari setiap orang yang merasa hak-haknya dilanggar baik dilakukan secara individual maupun kolektif. Kedua, bahwa pelanggaran atau kejahatan terhadap hukum privat maupun publik serta norma-norma kesusilaan tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi persoalan dalam masyarakat. Dalam hal ini kegiatan advokasi dilakukan untuk mencegah munculnya persoalan baru, yang justru dapat dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan sesaat. Ketiga, bahwa kegiatan advokasi dimaksudkan masyarakat maupun individu mampu untuk mengorganisir dirinya sehingga setiap persoalan yang muncul dapat dicegah sedini mungkin.

Berkaitan dengan hal tersebut perlu disadari bahwa persoalan atau kasus-kasus yang ada, tidak saja dalam bidang hukum tetapi masuk juga dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, dimana kegiatan advokasi juga dibutuhkan. Sehingga setiap kasus tidak saja selalu diselesaikan melalui jalur hukum, tetapi dapat diselesaikan dengan kemampuan masyarakat sendiri. Dengan demikian lewat kegiatan advokasi ditujukan untuk penguatan masyarakat sipil, karena selama ini resistensi mayarakat terhadap eksploitasi dan penindasan negara sangat minim. Dengan kegiatan advokasi diharapkan kesadaran dan pemahaman kelompok masyarakat maupun individu semakin meningkat untuk memperjuangkan hak-haknya serta mengorganisir dirinya secara berkesinambungan.

Perlu disadari bahwa kegiatan advokasi merupakan gerakan yang tidak mudah dalam pelaksanaannya. Karena dalam perjuangan kegiatan advokasi dalam menegakkan hak-hak klien/masyarakat akan berhadapan dengan kekuasaan yang sangat kuat, yang memiliki berbagai instrumen yang memudahkan untuk mematahkan kegiatan advokasi. Namun kiranya perjuangan membela dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak klien/masyarakat, terlebih penyandang masalah sosial utamanya korban konflik sosial, merupakan kegiatan yang memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit baik moril maupun materiil. Namun yang lebih penting adalah bagaimana hak tersebut bisa diperjuangkan dan kebijakan publik berpihak kepadanya. Sehingga diharapkan dengan kegiatan advokasi pemerintah dalam menentukan kebijakan memberi posisi yang benar, dalam mengakui dan bahkan melindungi hak-hak masyarakat yang selama ini terpinggirkan.

Advokasi dalam pelayanan kemanusiaan dapat dikemukakan pendapat dari Hepwort dan Larsen (1986) sebagai berikut; Proses bekerja dengan atau atas nama klien, untuk:
1. Memperoleh pelayanan atau sumber-sumber yang kemungkinan tidak tersedia.
2. Memodifikasi kebijakan, prosedur atau praktik yang mempengaruhi klien.
3. Mempromosikan legislasi atau kebijakan baru yang akan menghasilkan tersedianya sumber ataupun pelayanan yang dibutuhkan klien.
Jadi dari pengertian tersebut kegiatan advokasi merupakan upaya pencapaian tujuan, suatu proses, dan proses advokasi mencakup kegiatan “memperoleh, memodifikasi dan promosi/meningkatkan” hak atau kebutuhan klien.

Tipe advokasi dalam pelayanan kemanusiaan diantaranya adalah :
Advokasi kasus, klas, internal, sistem, kebijakan, klinis, pelayanan langsung, legislatif, dan advokasi komunitas.

Teknik Advokasi
Dalam banyak kalangan aktivis dan Non Government Organisation (NGO), yang telah sering malakukan advokasi, maka wilayah kerja advokasi pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Pengorganisasian, istilah ini memang sangat kental dengan NGO, akan tetapi sebenarnya bisa dipakai oleh pihak lain. Pengorganisasian dipahami sebagai upaya untuk mengorganisir pihak yang akan kita dvokasi, seperti; buruh, petani, dan sebagainya.

2. Kampanye, kampanye merupakan adaptasi dari kata Campaign yang berarti seni perang, didalamnya tercakup taktik dan strategi, yang dapat kita gunakan untuk menarik warga agar simpati terhadap yang kita kampanyekan, dan mendapat perhatian semua pihak.
3. Legislasi, karena advokasi adalah untuk merubah kebijakan, maka out put dari advokasi salah satunya adalah lahirnya kebijakan terhadap isu yang kita advokasi. Dapat dikemukakan bahwa tidak ada teknik yang dapat menjadi standar baku dalam kegiatan advokasi .

Untuk itu berikut adalah beberapa teknik advokasi, dalam membela hak-hak klien sebagai berikut:
1. Pendekatan secara persuasive terhadap klien dan lingkungannya, yaitu mengetahui latar belakang individu, keluarga, dan lingkungan pergaulan.
2. Pendekatan emosional; dengan menciptakan suasana yang bebas dari rasa ketakutan, aspiratif, mendengarkan keluhan klien dll, melakukan dialog dengan pihak terkait dengan permasalahan klien, melakukan komunikasi dengan orang tua/wali klien yang bermasalah.
3. Memposisikan Pekerja Sosial sebagai tokoh panutan dan sebagai teman/sahabat yang dapat diajak berdiskusi sehingga terjadi posisi saling mempercayai dan diharapkan tercipta hubungan harmonis dan dialog yang sehat.
4. Mengadakan kegiatan formal dan non formal yang berkaitan dengan penyebaran informasi tentang PMKS, utamanya yang menjadi tupoksinya; melalui penyulahan, kampanye, diskusi, tulisan ilmiah, dll.
5. Bersama-sama pihak terkait untuk menyediakan sarana dan prasarana bagi klien dalam rangka penyaluran minat dan bakat.
6. Membudayakan dan menggalakkan kegiatan-kegiatan yang bersifat religius/keagamaan.

Kaidah Advokasi
Jika advokasi adalah kegiatan yang terencana dan sistematis maka ada beberapa kaidah yang menjadi pegangan setiap orang yang hendak melakukan advokasi, kaidah tersebut diantaranya:

1. Mencermati posisi kasus
Pada kaidah ini kita harus terlebih dahulu melihat kasus tersebut. Setelah itu kita merangkai ulang setiap peristiwa yang berhubungan dengan kasus tersebut, mengenai isi, potensi maupun peluang serta dampak yang ditimbulkan. Hasil tersebut ditelaah dan disusun dalam suatu peta persoalan yang berisikan identifikasi masalah, potensi dan peluang seta jangka waktu yang akan dikerjakan. Dengan mencermati posisi kasus maka akan diketahui sebenarnya posisi dan kapasitas kita serta seberapa jauh kemampuan yang kita punyai.

2. Identifikasi siapa kawan dan lawan
Pada kaidah ini yang harus dilakukan adalah memperkecil lawan dan memperbanyak kawan. Untuk itu maka perlu identifikasi seberapa banyak kita mendapat dukungan dan siapa saja yang hendak menentang. Makin banyak dukungan didapatkan, makin lebar peluang untuk keberhasilan advokasi.

3. Kerjakan rencana yang sudah dibuat
Dalam membuat rencana tentu kita harus konsisten untuk tidak melakukan perubahan, walaupun kondisi dilapangan banyak berubah. Kita hanya dapat merubah taktik sesuai dengan situasi dilapangan yang banyak berubah, jangan mudah mengganti program yang sudah disepakati. Kesepakatan yang sudah dibuat akan dijadikan semacam pengikat bagi kerja advokasi selanjutnya, untuk itu semua kalangan yang terlibat konsisten dengan apa yang telah direncanakan.

4. Tetap konsisten pada masalah
Pada kaidah ini yang perlu diperhatikan adalah munculnya perubahan dalam masyarakat yang mempengaruhi kerja-kerja advokasi sehingga masalah yang menjadi sasaran advokasi kurang diminati oleh kelompok inti. Hal ini jelas amat berbahaya karena sasaan menjadi kabur dan bisa jadi tidak mendapat dukungan publik. Jika diperlukan buatlah strategi untuk tetap membuat masalah itu terus aktual dan relevan dalam kondisi apapun. Dengan demikian dibutuhkan kreatiftas dalam membuat masalah tersebut tetap hangat dan tidak cepat basi.

5. Jangan mudah ditakuti
Banyak cara yang akan dilakukan lawan untuk melemahkan semangat kita dalam melakukan advokasi. Taktik paling kentara adalah melakukan teror dari yang paling halus hingga yang sangat kotor. Untuk menangkal itu adalah dengan ketegaran dan kesabaran. Dalam melakukan advokasi anda bukan saja bertaruh denga gagasan tetapi yang paling utama adalah hidup anda.

6. Berimajimasilah
Cara untuk mengalahkan lawan dalam kegiatan advokasi tidak perlu dengan melakukan cara teror dan kekerasan. Kita harus melakukan berbagai strategi untuk menggalang opini publik, dapat meminta bantuan teman-teman yang bergerak dibidang keenian, olah raga, pemusik, dll. Karena advokasi adalah kegiatan sistematis dan terencana maka kegiatan itu membutuhkan kretifitas dan imajinasi. Dengan imajinasi kita akan menemukan banyak saluran untuk menggalang dukungan atau menambah simpatisan.

7. Berdoalah
Banyak bukti dimana doa berperan penting dalam setiap perubahan. Doa adalah pengukuhan dan pendorong tiap pribadi yang berada dalam kegelisahan maupun perjuangan kemanusiaan. Sesab itu doa menjadi penting bagi kita yang memang menggagas kemenangan dalam melakukan advokasi.

Praktek Advokasi
Bagaimana kita melakukan advokasi ? Agak kesulitan ketika kita harus menjelaskan secara rinci tentang bagaimana melakukan advokasi, karena hal ini sangat jarang dan belum familiar ditengah-tengah masyarakat kita. Terlebih kata advokasi sendiri belum menjadikan wacana dan populer di masyarakat, sehingga tidak ada devinisi yang baku tentang advokasi. Tidak ada cara yang baku dalam metode serta langkah-langkah advokasi. Tidak ada resep advokasi yang secara universal cocok diterapkan untuk semua aspek persoalan. Belajar dari kesalahan dan keberhasilan yang pernah dilakukan berikut diusahakan beberapa yang mungkin bisa dipakai bahan untuk melakukan improvisasi.

Dalam hal dikemukakan langkah-langkah melakukan advokasi, diantaranya adalah:
1. Membentuk lingkaran inti
Yang dimaksud lingkar inti (allies) adalah kumpulan orang dan atau organisasi yang menjadi penggagas, pemrakarsa, penggerak dan pengendali utama seluruh kegiatan advokasi. Lingkar inti dari suatu gerakan advokasi adalah suatu “tim kerja” yang siap kerja purna waktu, kohesif dan solid. Lingkar inti adalah perancang strategi sekaligus pemegang komando utama. Karena itu, pembentukan lingkar inti dalam gerakan advokasi memerlukan beberapa prasyarat, diantaranya: adanya kesatuan atau kesamaan visi dan idiologi yang jelas terhadap issu yang diadvokasikan.

2. Mengumpulkan data dan informasi
Dalam upaya memahami hal yang akan kita lakukan dalam gerakan advokasi, perlu mengumpulkan data dan informasi berkaitan dengan issu advokasi yang dilakukan. Data dan informasi tersebut penting dalam mendukung proses berikutnya.

3. Analisis data dan informasi
Data yang telah terkumpul sebanyak mungkin kita olah sedemikian rupa menjadi informasi yang diperlukan untuk mendukung semua kegiatan lain dalam advokasi, misalnya; dalam merumuskan issu startegis, bahan proses legislasi, kampanye, lobbi, dll.

4. Memilih issu startegis
Segera setelah kegiatan sebelumnya tercapai, adalah mimilih/menetapkan issu strategis kegiatan advokasi yang akan dilakukan. Dalam menentukan satu issu strategis kegiatan advokasi dengan mengacu pada pertimbangan issu yang akan diusung adalah “aktual”, yaitu sedang hangat dan menjadi perhatian masyarakat.
Sebagai bahan pertimbangan dalam memilih issu berikut ini dapat menjadi acuan:
(a) Penting dan mendesak , dalam arti tuntutan memang semakin luas di masyarakat agar issu tersebut segera ditangani, jika tidak akan membawa dampak negatif lebih besar pada kehidupan masyarakat umum.
(b) Kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
(c) Berdampak positif.
(d) Sesuai dengan visi dan agenda perubahan sosial.

5. Mengemas issu semenarik mungkin
Issu-issu yang telah dipilih (satu issu strategis) tersebut selanjutnya dikemas sedemikian rupa sehingga dapat menarik simpatisan masyarakat dan pendukung. Issu yang menarik akan mendapat dukungan dari berbagai kalangan utamanya dari mass media baik cetak maupun elektronik.

6. Galang sekutu dan pendukung.
Kerja advokasi merupakan kerja yang sangat rumit dan majemuk. Pada setiap tahapan memerlukan banyak waktu, tenaga, pikiran dan dana. Sehingga tidak ada seorangpun bahkan lembaga/oganisasi yang akan mampu sendirian melaksanakan semua kegiatan advokasi. Dalam hal inilah, penggalangan sekutu dan pendukung menjadi sangat vital. Sekutu dalam advokasi adalah perseorangan, kelompok atau organisasi yang memiliki sumber daya (keahlian, akses, pengaruh, prasarana, dana, dll) yang bersedia, dan kemudian terlibat aktif langsung, mendukung dengan mengambil peran atau menjalankan suatu fungsi dalam rangkaian kegiatan advokasi.

7. Mengajukan rancangan tanding.
Bagian acara ini mulai masuk ke dalam berbagai aspek teknis atau bentuk- bentuk kegiatan advokasi yang sesungguhnya. Ada tiga jalur proses pembentukan kebijakan publik, dengan berbagai jenis atau bentuk kegiatannya masing-masing yang khas, yang harus ditempuh dalam advokasi. Pertama adalah: proses-proses legislasi dan jurisdiksi. Proses-proses legislasi, yang membentuk isi naskah hukum atau kebijakan publik, mencakup beberapa jenis kegiatan; mulai dari penyusunan rancangan undang-undang atau peraturan (legal drafting), termasuk didalamnya penyusunan rancangan tanding (counter draft), sampai peninjauan kembali atau pengujian undang-undang (judicial review). Sedangkan proses-proses Jurisdiksi diantaranya adalah; beracara di peradilan (litigasi), juga bisa terjadi dalam berbagai bentuk: gugatan perwakilan (legal standing), gugatan bersama (class action), dll.

8. Mempengaruhi pembuat kebijakan
Jalur kedua dalam proses-proses pembentukan kebijakan publik adalah ; proses-proses politik dan birokrasi, yang membentuk tata laksana kebijaakn publik. Dua pelaku utama dalam jalur ini adalah para Politisi dan aparat birokrasi pemerintahan, sebagai pembuat dan pelaksna resmi kebijakan publik. Maka, berlangsunglah kegiatan-kegiatan; lobbi, negosiasi, mediasi, kolaborasi, dsb.

9. Membangun basis gerakan.
Salah satu kecaman terhadap kegiatan advokasi dari pengalaman aktivis/LSM/ORNOP, adalah kelemahan pada basis legitimasinya. Mereka sebenarnya bicara atas nama siapa? Apakah mereka memang memiliki mandat nyata dari masyarakat atau rakyat yang mereka “atas namakan” ?. Jadi masalah bagaimana mampu membangun basis gerakan sampai menyentuh akar rumput, mungkin masih berjalan sampai sekarang walaupun sistem pilitik dan hukum sekarang sudah mulai longgar. Untuk itu sekarang kalau mau melaksanakan advokasi harus memiliki basis gerakan yang berakar nyata dalam masyarakat.

Sumber :
http://trimiyati.web.ugm.ac.id/wordpress/
http://moeljadi.multiply.com/
Ilham F Latief

2 April 2010

Membina Hubungan Dengan Konstituen: Buku Saku DPRD

Buku ini dimaksudkan untuk membantu para anggota DPRD menjaga hubungan baik dengan masyarakat dan konstituennya. Berisikan pemahaman dasar mengenai hubungan yang efektif dengan masyarakat sebagai bagian dari kinerja DPRD dan cara bagaimana masyarakat dapat memberikan masukan dalam kegiatan DPRD. Terbagi dalam beberapa bagian yang mengulas tentang teknik-teknik pemetaan konstituen, bagaimana menjangkau para pemilih, keterampilan berkomunikasi, pemetaan dan mediasi konflik, serta cara mempersiapkan kunjungan ke konstituen.


Lebih Lanjut.............

Silahkan Download
Membina Hubungan Dengan Konstituen: Buku Saku DPRD

Penulis: LGSP

Pengantar Legal Drafting untuk DPRD: Panduan Fasilitator

Panduan pelatihan ini ditujukan bagi para fasilitator yang akan memberikan pelatihan dalam penyusunan peraturan daerah (Perda) bagi DPRD. Buku ini menguraikan tahapan dalam penyusunan peraturan oleh DPRD, peraturan perundangan dan kerangka hukum peraturan daerah, dan cara menyelenggarakan konsultasi publik dengan pemerintah daerah dan masyarakat. Buku ini dilengkapi dengan lampiran mengenai RUU dan kerangka hukum penyusunan Perda.

Lebih Lanjut.............

Silahkan Download
Pengantar Legal Drafting untuk DPRD: Panduan Fasilitator

Penulis: LGSP

Legal Drafting, Penyusunan Peraturan Daerah: Buku Pegangan untuk DPRD

Buku pegangan ini merupakan edisi kembar dari buku pegangan bagi fasilitator mengenai penyusunan peraturan, dan memberikan petunjuk praktis bagi DPRD mengenai cara menyusun peraturan daerah (Perda). Menjelaskan gambaran tahapan penyusunan peraturan, peraturan perundangan dan kerangka hukum yang mendasari peraturan daerah, serta mekanisme konsultasi publik. Dijelaskan juga bagaimana cara menyusun peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan dan sistem administrasi nasional serta aspirasi masyarakat.

Lebih Lanjut.............

Silahkan Download
Lebih Lanjut.............

Silahkan Download
Legal Drafting, Penyusunan Peraturan Daerah: Buku Pegangan untuk DPRD

Penulis: LGSP

Good Governance Brief: Peran DPRD dalam Meningkatkan Otonomi Daerah dan Tata Pemerintahan yang Baik

Tinjauan ini memotret bagaimana DPRD membuka diri kepada masyarakat untuk mendapatkan masukan bagi penyusunan kebijakan publik dan pengawasannya, menggambarkan peran dan fungsi DPRD, isu-isu penting, tantangan dan peluang bagi penguatan peran DPRD sebagai pendukung otonomi daerah dan tata pemerintahan yang baik. Dikemukakan pula peluang bagi peningkatan keterlibatan warga dalam penyusunan kebijakan oleh DPRD, serta usulan untuk langkah selanjutnya berdasarkan rekomendasi dari konferensi nasional yang diselenggarakan LGSP pada bulan November 2007.

Lebih Lanjut.............

Silahkan Download
Good Governance Brief: Peran DPRD dalam Meningkatkan Otonomi Daerah dan Tata Pemerintahan yang Baik

Penulis: LGSP

Pengawasan DPRD Terhadap Pelayanan Publik

Buku berisikan panduan selangkah demi selangkah bagi DPRD dalam melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik. Bab awal dimulai dengan pemahaman tentang tanggungjawab DPRD terhadap pelayanan publik yang adil dan berkualitas serta kerangka hukumnya. Bab-bab selanjutnya berisi antara lain tentang: ruang lingkup pengawasan, prosedur dan mekanisme pengawasan serta pertanggungjawaban atas hasil pengawasan.

Lebih Lanjut.............

Silahkan Download
Pengawasan DPRD Terhadap Pelayanan Publik

Penulis: LGSP

Meneropong Jejak Perjuangan Legislatif: Dokumentasi Pengalaman DPRD

Laporan ini merupakan dokumentasi inisiatif dan inovasi DPRD di beberapa daerah pendampingan LGSP terkait dengan peran DPRD dalam menjamin keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat. Isi buku tidak hanya mendokumentasikan peristiwa/event yang terjadi, melainkan juga menganalisa hubungan antar aktor, faktor-faktor yang berpengaruh, lingkungan atau pra kondisi yang telah terjadi, serta signifikansi, kelemahan serta rekomendasi berkaitan dengan bantuan teknis LGSP.
Lebih Lanjut........

Silahkan Download
Meneropong Jejak Perjuangan Legislatif: Dokumentasi Pengalaman DPRD

Penulis: LGSP

Menjadikan Wakil Rakyat Semakin Bermartabat – Orientasi Bagi Anggota DPRD (Panduan Fasilitator)

Publikasi ini merupakan kumpulan dari berbagai modul, panduan serta publikasi lain yang terkait dengan penguatan kapasitas DPRD. Kompilasi materi pelatihan anggota DPRD ini terdiri dari modul executive training bagi anggota DPRD baru, modul pelatihan pengawasan APBD oleh DPRD, modul pelatihan analisa APBD, panduan pengawasan pelayanan publik, dan panduan legal drafting.
Lebih Lanjut....................


Silahkan Download
Menjadikan Wakil Rakyat Semakin Bermartabat – Orientasi Bagi Anggota DPRD

Penulis: LGSP

Menjadikan Wakil Rakyat Semakin Bermartabat – Orientasi Bagi Anggota DPRD (Panduan Fasilitator)

DPRS-USAID Latih 50 Anggota DPRD Makassar (8 Maret 2010).

Makassar (Berita Kota Makassar). Upaya untuk meningkatkan kapasitas anggota DPRD Kota Makassar terus dilakukan. Pekan lalu, 50 Legislator mengikuti lokakarya peningkatan kapasitas fungsi-fungsi DPRD.
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu, 3-5 April 2010, disponsori oleh DRSP dan USAID, dan berlangsung di Gedung DPRD Kota Makassar, Jl AP Pettarani. Anggota Dewan cukup antusias mengikutinya.
Menurut Syamsuddin Alimsyah, Fasilitator DRSP, pelatihan atau lokakarya tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas anggota Legislatif dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat.
Menurut dia, ada tiga fungsi wakil rakyat, yakni fungsi pengawasan (controling), anggaran (budgeting) dan fungsi legislasi (legislative). “Selama ini, ketiga fungsi ini belum berfungsi maksimal,” katanya.
Koordinator Kopel (Komite Pemantau Legislatif) Makassar, Muh Ramli, menambahkan, kegiatan tersebut mendapat respon yang luar biasa dari seluruh anggota legislatif yang hadir.
“Apa yang dilakukan merupakan hal yang baru dan belum didapatkan bagi anggota Dewan yang baru pertama kali duduk di legislatif. Banyak hal yang baru didapatkan,” ujar Ramli.
Diantara materi yang dipaparkan, menurut dia, terkait penyusunan peraturan daerah (Perda), penyusunan dan pembahasan APBD, dan bagaimana menjalankan tiga fungsinya sebagai wakil rakyat.
Sementara pemateri atau nara sumber adalah pakar-pakar yang memiliki kemampuan dalam penyusunan APBD dan Perda serta lainnya. “Pakar yang berkompeten di bidangnya,” katanya.
Diantara pemateri adalah Hans Antlov dari Usaid, Prof Dr Fadly dari Universitas Sumatera Utara, Himawan (Instruktur Pelatihan Legislatif di Depdagri), Ismail Amir (Pakar dalam Penyusunan dan Pengawasan APBD).
Ketua DPRD Makassar, HI Adnan Mahmud, mengakui, kegiatan yang diikuti seluruh anggota Dewan ini sangat besar manfaatnya. Alasannya, banyak hal baru yang bisa didapatkan terkait fungsi dan tugasnya sebagai anggota legislatif.
“Sangat bagus kegiatan ini untuk peningkatan kualitas anggota DPRD kita. Apalagi, tidak ada sedikitpun anggaran dari APBD yang diambil, karena seluruhnya didanai dari USAID dan RSDP,” ungkap HI Adnan Mahmud.

Sumber:
http://www.beritakotamakassar.com/index.php?option=read&newsid=39977

Analisis APBD untuk Anggota DPRD

Buku ini terwujud berkat bantuan yang diberikan oleh United States Agency for International Development (USAID) berdasarkan nomor kontrak No. 497-M-00-05-00017-00 dengan RTI International, melalui pelaksanaan Local Governance Support Program (LGSP) di Indonesia. Pendapat yang tertuang di dalam laporan ini tidaklah mencerminkan pendapat dari USAID

Modul ini merupakan panduan langkah-langkah sistematis dalam aktifitas lokakarya analisis APBD untuk anggota DPRD. Kehadiran modul ini diharapkan mampu menjawab tiga kebutuhan dasar bagi efektifitas pelaksanaan fungsi DPRD dalam proses kebijakan anggaran daerah, yaitu:
1. Anggota DPRD memiliki sikap dan perilaku yang produktif mendorong APBD yang mensejahterakan masyarakat daerah.
2. Anggota DPRD memiliki pengetahuan dan wawasan yang diperlukan untuk mengembangkan pilihan-pilihan kebijakan anggaran yang menjawab permasalahan public,seperti kesehatan, pendidikan and pengembangan ekonomi lokal.
3. Anggota DPRD memiliki keterampilan teknik analisis untuk memberikan masukan-masukan kritis terhadap kebijakan anggaran daerah dan memantau secara umum penyusunan anggaran daerah.

Lebih Lengkap.................
SILAHKAN DOWNLOAD
Seri Penguatan Legislatif - Analisis APBD
untuk Anggota DPRD


Somber
LGSP - USAID

1 April 2010

Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak

Sekilas - Pendidikan Dasar Untuk Semua
Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.
Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.

Upaya UNICEF - Pendidikan Dasar Untuk Semua
UNICEF mendukung langkah-langkah pemerintah Indonesia untuk meningkatkan akses pendidikan dasar melalui sistem informasi pendidikan berbasis masyarakat. Sistem ini memungkinkan penelusuran semua anak usia di bawah 18 tahun yang tidak bersekolah.
Dalam upayanya mencapai tujuan “Pendidikan untuk Semua” pada 2015, pemerintah Indonesia saat ini menekankan pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun bagi seluruh anak Indonesia usia 6 sampai 15 tahun. Dalam hal ini, UNICEF dan UNESCO memberi dukungan teknis dan dana.
Bersama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan anak-anak di delapan propinsi di Indonesia, UNICEF mendukung program Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak (CLCC). Proyek ini berkembang pesat dari 1.326 sekolah pada 2004 menjadi 1.496 pada 2005. Kondisi ini membantu 45.454 guru dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih menantang bagi sekitar 275.078 siswa.

Upaya UNICEF Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak
Program MBS telah berhasil mendorong sekolah dan masyarakat untuk bekerjasama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan...
baca lanjut dengan meng-download file-file PDF dibawah ini


Download MBS 1-4
.....................................................

Download MBS 5-8
.....................................................

Download MBS 9-12
.....................................................

Download MBS 19-17
.....................................................

Sumber
http://www.unicef.org/

PERLINDUNGAN ANAK: buku panduan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat

HAKEKAT PERLINDUNGAN ANAK

Apakah perlindungan anak itu?
Istilah “perlindungan anak” (child protection) digunakan dengan secara berbeda oleh organisasi yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula. Dalam buku panduan ini, istilah tersebut mengandung arti perlindungan dari kekerasan, abuse, dan eksploitasi.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, perlindungan anak mengupayakan agar setiap hak sang anak tidak dirugikan. Perlindungan anak bersifat melengkapi hak-hak lainnya yang secara inter alia menjamin bahwa anak-anak akan menerima apa yang mereka butuhkan agar supaya mereka bertahan hidup, berkembang dan tumbuh.

Perlindungan anak mencakup masalah penting dan mendesak, beragam dan bervariasi tingkat tradisi dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Banyak masalah, misalnya pelacuran, yang berkait erat dengan faktor-faktor ekonomi. Sementara masalah lain, seperti kekerasan di rumah atau di sekolah, mungkin berkaitan erat dengan kemiskinan, nilai-nilai sosial, norma, dan tradisi. Sering kriminalitas terlibat di dalamnya, misalnya perdagangan anak. Bahkan kemajuan teknologi memiliki aspek-aspek perlindungan di dalamnya, sebagaimana nampak dalam tumbuh– berkembangnya pornografi anak.

Bagian pertama dari buku panduan ini akan melihat secara lebih mendalam tentang apa yang dimaksudkan dengan perlindungan dan tanggapan umum apakah yang diperlukan untuk menghormati perlindungan hak-hak anak. Bagian dua akan membahas secara khusus peran-peran yang dimainkan oleh anggota dewan perwakilan rakyat dalam upaya menjamin bahwa semua anak dilindungi. Bab tiga akan membahas dan mencermati sejumlah masalah yang berkaitan dengan mereka yang bekerja untuk melakukan perlindungan terhadap anak.

Apa yang dipertaruhkan?

Pelanggaran terhadap perlindungan hak-hak anak, selain pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia juga merupakan penghalang sangat besar, kurang dikenali, dan terlalu sedikit dilaporkan bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Anak yang dapat menjadi korban kekerasan, eksploitasi, abuse dan pengabaian, juga beresiko:

• hidup lebih pendek
• memiliki kesehatan mental dan fi sik yang buruk
• mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikannya (termasuk putus sekolah)
• memiliki ketrampilan yang buruk sebagai orang tua;
• menjadi tunawisma, terusir dari tempat tinggalnya, dan tidak memiliki rumah.

Di sisi lain, tindakan-tindakan perlidungan yang sukses akan meningkatkan peluang anak tumbuh sehat secara fi sik dan mental, percaya diri dan memiliki harga diri, dan kecil kemungkinannya melakukan abuse atau eksploitasi terhadap orang lain, termasuk anak-anaknya sendiri.
..........................................................
Lebih Lengkap
Author: Dan O'Donnell (2004)
Price: gratis
No. of pages:
Publication date: 2006 - Jakarta (SRO-Kundi, Swiss, 2004)
Publisher: UNICEF in collaboration with the Inter Parliamentary Union
Languages: Bahasa Indonesia
Silahkan Download
1. Daftar isi
2. Isi Buku

Sumber
http://www.unicef.org/

Mari bicara tentang HIV/AIDS dengan orang tua, guru dan teman

Saya tahu apa yang kamu pikirkan. Mengapa saya harus membaca buku ini? Jawabannya adalah: karena buku ini berbicara tentang HIV/AIDS, kesehatan reproduksi dan NAPZA, agar supaya kita tidak mengambil resiko dengan kehidupan kita.

HIV/AIDS dan memakai NAPZA dapat merenggut nyawa kita dalam sekejap mata. Tiba-tiba saja kehidupan kita yang indah dan terbentang luas didepan mata dalam sekejap menjadi jalan hidup yang penuh penderitaan dan bahkan dapat membawa pada kematian.

Saya tidak mengada-ada kalau saya memberitahukan pada kamu bahwa separuh dari jumlah kasus HIV yang baru, datang dari kelompok seumuran kamu. Saya juga tidak mengada-ada kalau saya bilang bahwa memakai NAPZA bisa membuat ribuan pemuda Indonesia menjadi seperti mayat hidup dan bisa juga tertular HIV karena menggunakan jarum suntik secara bersama-sama.

Hidup tidak harus seperti itu bila kita tahu caranya menghidari penularan HIV. Kita tahu bahwa belajar tentang HIV/AIDS dan Pendidikan Keterampilan Hidup seperti misalnya cara bernegosiasi, mengambil keputusan, berpikir kritis, komunikasi interpersonal serta keterampilan menyelesaikan konflik dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang cerdas, seperti menunda melakukan hubungan seksual sampai kita cukup dewasa untuk me-lindungi diri kita sendiri dari penularan HIV, maupun Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya dan penyalahgunaan NAPZA.

Lebih lanjut
1. HIV/AIDS Booklet_part1
2. HIV/AIDS Booklet_part2
3. HIV/AIDS Booklet_part3
4. HIV/AIDS Booklet_part4

Sumber
http://www.unicef.org/

PERDA Kab Tasikmalaya No 4 Tahun 2007 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS

Kabupaten Tasikmalaya, Sungguh memprihatinkan, karena dari Januari hingga November 2009 bahwa Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) kabupaten Tasikmalaya mendapat laporan bahwa 4 warga kabupaten Tasikmalaya positif terjangkit HIV/AIDS. Berdasarkan data akumulatif dari tahun 2005-2009, ternyata di kabupaten Tasikmalaya sebanyak 42 warga terjangkit HIV/AIDS dan 12 orang meninggal dunia.

"Pada tahun 2009 ini saja ditemukan kembali 4 orang. Hal perlu diingat, bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS bukan harus dikhawatirkan, melainkan menjadi jalan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan masyarakat yang berisiko tertular HIV/AIDS," kata Pengelola Program KPA Kab. Tasikmalaya, Drs.M. Ahmad Jayalaksana seperti dikutip media lokal, kemarin.

Apalabila tidak ada data atau masyarakat yang terbuka bahwa dirinya sudah tertular AIDS, menurut Ahmad Jaya, maka KPA tidak mengetahui keberadaan mereka dan sulit untuk mencari solusinya.

Dia menjelaskan, pihaknya sudah menemukan kasus HIV/AIDS di kecamatan Singaparna, Manonjaya, Ciawi, Rajapolah, Sukaratu, Cikatomas, Bantarkalong, Salopa, Cibalong, Sukaraja, Puspahiang, Cineam, Mangunreja, dan Padakembang. Namun, penderita HIV/AIDS tertinggi terdapat di Kec. Singaparna dan Kec. Manonjaya.

Kendati demikian, Ahmad mengaku belum mengetahui secara pasti penyebab menularnya penyakit itu, apakah dari Tasikmalaya atau dari luar daerah. ”Kalau melihat datanya, hampir 61% penderita yang sebagian besar berusia produktif tertular melalui jarum suntik atau penasun. Sedangkan pekerja seks komersial (PSK), gay, waria, ibu rumah tangga, bayi, dan balita tidak terlalu banyak,” tutuurnya.

Adapun kendala yang dihadapi KPA Kabupaten Tasikmalaya selama ini, lanjut Ahmad Jaya, adalah masih melekatnya stigma (citra buruk) penderita HIV/AIDS di mata masyarakat, sehingga membuat mereka enggan melaporkan dirinya kepada petugas bahkan kepada keluarganya.

Sumber
Kabar Indonesia, 2 Desember 2009

Silahkan Download
PERDA KAB TASIKMALAYA NO 4 TH 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya Periode 2009-2014

1. Drs. H. Ruhimat, M.Pd
Jabatan Ketua DPRD
Fraksi PPP
Asal Dapil VII
2. Mochamad Arief Arseha, SE.
Jabatan Wakil Ketua DPRD
Fraksi Golkar
Asal Dapil II
3. H. Ucu Asep Dani, ST.MP
Jabatan Wakil Ketua DPRD
Fraksi Demokrat
Pimpinan DPRD
Asal Dapil III
4. Ade Sugianto, S.IP
Jabatan Wakil Ketua DPRD
Fraksi PDIP
Pimpinan DPRD
Asal Dapil III
5 H. Budiman S. Firmansyah, S.Sos, I, M.Ag
Jabatan Sekretaris Fraksi PPP
Fraksi PPP
Asal Komisi II, Dapil I
6 Hidayat Muslim
Jabatan Bendahara Fraksi PPP
Fraksi PPP
Asal Komisi II, Dapil VI
7 H. Apip Ipan Permadi
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PPP
Asal Komisi II, Dapil I
8 Hj. Siti Nurjanah, M.SE.
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PPP
Asal Komisi IV, Dapil II
9 Drs H. Yamin Yusuf, M.Si
Jabatan Sekretaris Komisi I
Fraksi PPP
Asal Komisi I, Dapil II
10 H. Uu Ruzhanul Ulum, SE
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PPP
Asal Komisi I, Dapil IV
11 Hj. Mimi Rohmiati, FH
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PPP
Asal Komisi IV, Dapil IV
12 Drs Ujang Sukmana
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PPP
Asal Komisi III, Dapil V
13 Abud, S.Ag
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PPP
Asal Komisi I, Dapil VI
14 Ajen Zaenal Mustopa
Jabatan Wakil Ketua Komisi III
Fraksi PPP
Asal Komisi III, Dapil VII
15 H. Cecep Nurul Yakin, S.Pd
Jabatan Ketua Komisi II
Fraksi PPP
Asal Komisi II, Dapil V
16 H. Subarna SE, M.Si
Jabatan Ketua Fraksi PPP
Fraksi PPP
Asal Komisi III, Dapil VI
17 Asop Sopiudin, S.Ag
Jabatan Sekretaris Komisi IV
Fraksi PPP
Asal Komisi IV, Dapil III
18 Drs Ery Purwanto, M.Si
Jabatan Ketua Fraksi Golkar
Fraksi Golkar
Asal Komisi III, Dapil I
19 R. Toni Hanip
Jabatan Wakil Ketua Komisi I
Fraksi Golkar
Asal Komisi I, Dapil I
20 Agoeng Novansyah Soemardi, SH
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi Golkar
Asal Komisi III, Dapil VII
21 Aris Jauhari Suharyatin, S.IP
Jabatan Ketua Komisi III
Fraksi Golkar
Asal Komisi III, Dapil III
22 Yoga Juanda
Jabatan Sekretaris Komisi II
Fraksi Golkar
Asal Komisi II, Dapil IV
23 Drs Maftuh Farid
Jabatan Wakil Ketua Komisi IV
Fraksi Golkar
Asal Komisi IV, Dapil V
24 Hj Dedeh T. Widarsih, SE
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi Golkar
Asal Komisi II, Dapil VI
25 R Hedi Hidayat
Jabatan Sekretaris Komisi III
Fraksi Demokrat
Asal Komisi III, Dapil II
26 Andi Sulanjani, ST.
Jabatan Ketua Komisi IV
Fraksi Demokrat
Asal Komisi IV, Dapil VI
27 Ferry Willyam, ST.
Jabatan Wakil Ketua Komisi II
Fraksi Demokrat
Asal Komisi II, Dapil IV
28 Mansyur Supriadi
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi Demokrat
Asal Komisi IV, Dapil V
29 Yayan Abdulah
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi Demokrat
Asal Komisi I, Dapil VII
30 Iwan Kurniawan
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi Demokrat
Asal Komisi I, Dapil I
31 Arip Rachman, SE, MM
Jabatan Ketua Fraksi PDIP
Fraksi PDIP
Asal Komisi II, Dapil I
32 Hj Titin Sugiartini
Jabatan Wakil Ketua Fraksi PDIP
Fraksi PDIP
Asal Komisi IV, Dapil II
33 Aef Syaripudin
Jabatan Ketua Komisi I
Fraksi PDIP
Asal Komisi I, Dapil VII
34 Drs Ade Abdurachmat, MM
Jabatan Bendahara Fraksi PDIP
Fraksi PDIP
Asal Komisi III, Dapil IV
35 Ucu Subandri
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PDIP
Asal Komisi I, Dapil V
36 H Ade Anwas
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PDIP
Asal Komisi IV, Dapil VI
37 Haris Sanjaya S.Ag
Jabatan Ketua Fraksi PKB
Fraksi PKB
Asal Komisi II, Dapil IV
38 H Syamsudi S.Ag
Jabatan Wakil Keua Fraksi PKB
Fraksi PKB
Asal Komisi II, Dapil III
39 Drs H. Momon Sam'an Kertajani
Jabatan Sekretaris Fraksi PKB
Fraksi PKB
Asal Komisi III, Dapil V
40 H Oleh Soleh, SH.
Jabatan Bendahara Fraksi PKB
Fraksi PKB
Asal Komisi IV, Dapil VI
41 Drs H Nandang Ahmad Hudaya
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PKB
Asal Komisi I, Dapil I
42 KH Asep Hidayat Lc
Jabatan Ketua Fraksi PKS
Fraksi PKS
Asal Komisi III, Dapil I
43 Dadi Supriadi
Jabatan Sekretaris Fraksi PKS
Fraksi PKS
Asal Komisi II, Dapil VII
44 Ucu Dewi Syarifah
Jabatan Bendahara Fraksi PKS
Fraksi PKS
Asal Komisi I, Dapil III
45 Uteng Warsito, S.IP
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PKS
Asal Komisi IV, Dapil II
46 Rossy Hermawati, S.Si
Jabatan Anggota DPRD
Fraksi PKS
Asal Komisi I, Dapil VI
47 Demi Hamzah Rahadian, SH
Jabatan Ketua Fraksi Amanah
Fraksi Amanah
Asal Komisi I, Dapil VI
48 Deni Ramdani, S.Fil
Jabatan Wakil Ketua Fraksi Amanah
Fraksi Amanah
Asal Komisi II, Dapil III
49 Nana Suryana
Jabatan Sekretaris Fraksi Amanah
Fraksi Amanah
Asal Komisi III, Dapil IV
50 Yane Sriwigantini, A.Md
Jabatan Bendahara Fraksi Amanah
Fraksi Amanah
Asal Komisi IV, Dapil I

Notes
Daerah Pemilihan (Dapil) I
1. Sariwangi
2. Cigalontang
3. Mangunreja
4. Tanjungjaya
5. Sukarame
6. Singaparna

Daerah Pemilihan (Dapil) II
1. Pagerageung
2. Kadipaten
3. Ciawi
4. Sukaresik
5. Jamanis

Daerah Pemilihan (Dapil) III
1. Sukahening
2. Cisayong
3. Sukaratu
4. Rajapolah
5. Leuwisari
6. Padakembang

Daerah Pemilihan (Dapil) IV
1. Manonjaya
2. Cineam
3. Karangjaya
4. Gunungtanjung
5. Jatiwaras
6. Salopa

Daerah Pemilihan (Dapil) V
1. Cikatomas
2. Pancatengah
3. Karangnunggal
4. Cikalong

Daerah Pemilihan (Dapil) VI
1. Sukareja
2. Parungponteng
3. Cibalong
4. Bojongasih
5. Culamega
6. Bantarkalong
7. Cipatujah

Daerah Pemilihan (Dapil) VII
1. Taraju
2. Salawu
3. Sodonghilir
4. Bojonggambir
5. Puspahiang

Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif HAM

Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (Ditjen HAM) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) melakukan kerjasama dengan World Health Organization (WHO) dalam rangka pemajuan hak asasi manusia (HAM). Kerjasama pemajuan HAM dengan badan-badan khusus PBB ini adalah seminar tentang kesehatan reproduksi.
Dalam pembukaannya Direktur Informasi Ditjen HAM Dimas Samodra Rum menyatakan, saat ini pemerintah Indonesia mengalami banyak kemajuan di bidang HAM. "Kerjasama dengan organisasi internasional seperti WHO diharapkan menjadi langkah strategis dalam rangka melaksanakan pemerintahan yang bersih dan demokrasi," tandas Dimas di Acara Seminar Kesehatan Reproduksi di Gedung Bidakara, Jakarta (28/08).
Lebih lanjut Dimas mengemukakan, fakta saat ini sering ditemukan tindak kekerasan yang dialami wanita. Para wanita rawan akan tindak kekerasan seksual dan perilaku pergaulan bebas yang dapat berakibat terinfeksi HIV. "Seminar ini ditujukan untuk memberikan informasi kepada partisipan untuk mengerti seberapa pentingnya kesehatan reproduksi bagi wanita, dan diharapkan para partisipan dapat disebarluaskan ke lingkungan sekitar," kata Dimas.
Sebelumnya, Kepala Perwakilan WHO untuk Indonesia Subhash Salunke menyatakan, bahwa kerjasama ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengertian tentang isu kesehatan reproduksi. “WHO mengestimasikan bahwa penyakit reproduksi adalah 33 persen dari total penyakit yang diderita oleh wanita. Nilai tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan pria yang hanya 12,3 persen dengan umur yang sama,” sambut Subhash.
Subhash menyatakan, lebih dari lima juta wanita di Indonesia yang meninggal, lima belas ribu di antaranya meninggal karena kehamilan dan melahirkan. “Penyebab utama kasus kematian ibu dan anak sebagian besar karena kurangnya kesadaran, kemampuan, dan akses untuk mendapatkan informasi perawatan,” ujar Subhash.
Menurut Subhash, saat ini Indonesia masih memerangi tingginya masalah kematian dan penyakit akan infeksi reproduksi dan infeksi seksual. Termasuk HIV, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang berbahaya, dan kebiasan seksual yang beresiko. "Kita juga dihadapkan norma-norma yang bertentangan, yang membuat tembok penghalang bagi wanita untuk mendapatkan informasi, perawatan kesehatan reproduksi, dan kegiatan yang menunjang generasi muda untuk sehat," tambah Subhash.
Tini Setiawan dari WHO juga mengatakan, sejumlah penelitian khususnya dengan kasus AIDS yang banyak berhubungan dengan hak reproduksi wanita diderita umumnya pada usia 20-29 tahun. "Ini semua karena akses informasi bagi perempuan muda dan remaja belum secara baik ditangani pemerintah, dalam hal ini Depkes," tandasnya.
Di akhir sambutan, Subhash berpesan guru memegang peranan penting untuk menyebarluaskan informasi reproduksi yang sehat kepada murid-muridnya. ”Hal ini akan membuat para murid berpikir untuk melakukan kebiasaan yang riskan, seperti pergaulan bebas”, kata Subhash.
Dalam seminar ini disepakati bahwa Negara wajib memberikan perlindungan terhadap hak yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi diantaranya Hak atas kehidupan, kelangsungan hidup/perkembangan, pencapaian standar kesehatan setinggi-tingginya, memperoleh pendidikan/informasi kesehatan dan hak untuk tidak didiskriminasi.

Sumber
hukumham.info
Senin, 01 September 2008

MENCERMATI LEDAKAN LANSIA

Setiap tanggal 29 Mei Indonesia memperingati Hari Lanjut Usia (Lansia) Nasional. Lansia menjadi phenomena menarik karena keberhasilan pembangunan bidang kependudukan dan kesehatan di Indonesia. Keberhasilan itu memperpanjang usia, kualitas, dinamika serta kesiapan penduduk. Karena keberhasilan itu, pada awal abad ke 21 ini struktur penduduk Indonesia makin dewasa dan tua. Jumlah penduduk anak-anak tetap saja bisa dipertahankan sesuai dengan jumlah di awal tahun 1970-an. Tetapi jumlah penduduk dewasa membengkak dua sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan keadaannya pada tahun 1970 tersebut. Demikian juga jumlah penduduk lansia, atau penduduk berusia 60 tahun keatas, atau 65 tahun keatas.
Pada tahun 1970 jumlah penduduk diatas usia 65 tahun hanya sekitar 3 juta jiwa, sekarang diproyeksikan telah mencapai jumlah tidak kurang dari 12 - 13 juta jiwa, atau peningkatan sebanyak empat kali lipat dibandingkan dengan keadaannya pada tahun 1970. Kalau dihitung mulai usia diatas 60 tahun, jumlah penduduk telah meningkat dari sekitar 5 juta menjadi sekitar 18-20 juta jiwa.
Langkanya penduduk lanjut usia pada tahun 1970 semata-mata karena penduduk Indonesia pada waktu itu mempunyai usia harapan hidup, atau usia rata-rata sekitar 50 tahun, atau kurang. Daerah-daerah tertentu, yang tingkat kesehatan dan lingkungannya kurang memberi dukungan, mempunyai usia harapan hidup dibawah 45 tahun, yaitu rata-rata penduduknya akan sudah meninggal dunia sebelum sempat memperingati ulang tahunnya yang ke 45.
Kita mengetahui bahwa rata-rata tingkat pendidikan Kepala Keluarga Indonesia pada tahun 1970 umumnya masih rendah. Sebagian besar kepala keluarga di Indonesia hanya buta huruf. Pada waktu ini telah meningkat menjadi rata-rata berpendidikan sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas.
Karena perkembangan globalisasi dan pendidikan yang cepat, yang diiringi dengan kemajuan modernisasi, tingkat pertumbuhan keluarga di Indonesia masih akan terus naik dan ternyata sudah jauh lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan penduduk Indonesia. Pada awal abad 21 jumlahnya mencapai sekitar 50-55 juta keluarga dan masih akan berkembang dengan kecepatan yang relatip tetap tinggi. Kalau dilihat dalam perspektif jangka panjang, jumlah penduduk lanjut usia mengalami kenaikan sebesar 96 persen selama 20 tahun. Pada waktu yang sama jumlah penduduk seluruh Indonesia mengalami kenaikan sebesar 42 persen. Dengan demikian jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia meningkat lebih dari dua seperempat kali lipat dibandingkan kenaikan jumlah penduduk dalam waktu yang sama.
Pembangunan yang berhasil dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang kesehatan dan ekonomi pada umumnya, telah memungkinkan keluarga Indonesia melakukan pemeliharaan kesehatan dengan lebih baik. Biarpun belum sempurna, tetapi penyakit-penyakit degeneratif telah dapat diatasi. Apabila ada anggota keluarga yang sakit, mereka umumnya bisa segera mendapat pengobatan, sehingga penyakit-penyakit yang apabila tidak ditangani bisa mengakibatkan komplikasi yang lebih rumit telah dapat diatasi.
Penduduk dewasa yang biasanya tidak mencapai umur yang relatif panjang karena gangguan kesehatan yang sederhana menjadi lebih mampu bertahan dan bisa menginjak usia yang lebih panjang. Namun kualitas kesehatan mereka sesungguhnya masih sangat rendah sehingga potensi penduduk lanjut usia tersebut belum bisa dianggap ideal dan mampu melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan.
Kejutan demografi berupa peningkatan jumlah dan proporsi lansia tersebut belum seluruhnya mendapat perhatian masyarakat. Namun kita beruntung karena pada tahun 1999 sudah berhasil disepakati Undang-undang tentang penduduk lanjut usia. Berbeda dengan pengertian sebelumnya, bahwa lansia dianggap tidak berdaya dan ditampung oleh keluarga atau ditempatkan di panti jompo, dalam UU tersebut mulai dikenal istilah pemberdayaan untuk lanjut usia. Pemberdayaan tersebut mempunyai tiga perspektif yang menarik.
Pertama, bagaimana membina dan memberdayakan lansia yang berada dalam lingkungan keluarga, agar tetap mampu bekerja, sehingga keluarganya dan kita semua bisa memberikan kepada mereka peluang dan kesempatan untuk ikut terus membangun keluarga dan masyarakat yang sejahtera;
Kedua, bagaimana membina dan memberdayakan lansia yang berada di luar lingkungan keluarga, khususnya yang masih mampu bekerja dan masih bisa memberikan sumbangan dalam pembangunan yang bersifat lokal maupun nasional;
Ketiga, bagaimana mengembangkan upaya membantu penanganan lansia yang sudah tidak mampu lagi bekerja dan harus menjadi tanggung jawab keluarganya, masyarakat dan atau pemerintah.
Karena kenyataan masih banyak penduduk lanjut usia yang dengan pembinaan dan pemberdayaan seperlunya dapat memulai karier yang kedua. Dan lebih dari itu, karier kedua tersebut mungkin saja berbeda dengan karier yang telah dicapainya di masa lalu, maka agar kelanjutan itu bisa mengantar ke kehidupan yang lebih sejahtera perlu dukungan yang lebih konkrit. Dalam mencapai karier kedua dan mengembangkan dukungan tersebut, UU Lansia pantas kita ketengahkan menjelang Hari Lansia pada tanggal 29 Mei 2005 yang akan datang. Lebih-lebih lagi karena jumlah penduduk lansia makin membengkak, dan akan terus membengkak di masa datang.
Ada tiga kelompok yang perlu mendapat dukungan pemberdayaan. Pertama, kelompok yang sesungguhnya masih cukup kuat secara fisik untuk memberikan kontribusi dan bekerja membangun bangsa menurut pilihan yang bisa meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraannya. Kelompok ini dapat dibantu dengan pemberdayaan yang memungkinkan yang bersangkutan untuk dengan lebih tentram mengembangkan karier pilihannya dengan lebih profesional dan mantab. Kemantaban itu akan menambah percaya diri dan meningkatkan kinerjanya dalam memberikan sumbangan.
Kedua, kelompok yang tidak lagi mampu untuk mengembangkan diri tetapi masih bisa meneruskan karier lamanya. Kelompok ini barangkali tidak lagi ingin belajar untuk mengembangkan karier yang lain dibandingkan dengan pengalamannya di masa lalu. Mereka puas apabila mendapat kesempatan untuk bekerja lebih lama lagi meneruskan pekerjaan atau cita-cita yang sejak lama telah ditekuninya.
Kelompok ketiga adalah mereka yang bisa melanjutkan pekerjaan lamanya, tetapi siap juga untuk mempelajari yang baru. Mereka ini bisa dengan mudah berpindah untuk melanjutkan karier baru untuk masa depan yang masih panjang dan menyenangkan. Kelompok ini bisa siap untuk belajar kembali dan bekerja dalam bidang-bidang yang bisa sangat mengasyikkan dan mungkin saja memberikan kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan kebahagiaan masa lalu yang telah dilewatinya.
Ketiga kelompok masyarakat dan penduduk lansia itu merupakan potensi yang masih sangat tinggi di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Di negara-negara maju potensi semacam ini sudah lama diberi kesempatan untuk maju dengan memberikan kepada mereka pilihan yang cocok dengan aspirasi masa tuanya. Biasanya pilihan itu disesuaikan dengan tempat tinggalnya karena penduduk lansia lebih kurang pas untuk menempuh jarak jauh ke tempat pekerjaannya.
Di negara maju, seperti Jepang dan Korea Selatan misalnya, pekerjaan-pekerjaan sederhana memberikan tiket pada pengendara mobil di jalan tol sudah lama sekali di kerjakan oleh penduduk lansia seperti ini. Penjaga-penjaga lift dan tempat-tempat yang sesungguhnya tidak perlu penjagaan, kecuali untuk informasi yang luas seperti menjaga benda-benda berharga di museum, sudah lama dipercayakan kepada penduduk lansia. Penduduk lanjut usia menjaga benda-benda berharga dan kuno tersebut dengan penuh perhatian karena merekapun menikmati nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Untuk memberi kesempatan kepada lansia melakukan banyak kegiatan seperti contoh di negara-negara maju tersebut perlu dikembangkan dua hal pokok sebagai berikut :
Pertama, kepada para lansia sendiri. Mereka diharapkan tidak cepat menyerah dan putus asa sehingga memberi peluang kepada anak atau cucunya untuk menganggap mereka sebagai tidak mampu secara fisik dan siap untuk tinggal di rumah atau diantar ke panti jompo dan semacamnya.
Kedua, masyarakat dan kulturnya perlu menyesuaikan diri bahwa sebagian lansia masa depan ini adalah para tenaga potensial yang dengan sentuhan yang tidak terlalu besar dapat dikembangkan menjadi tenaga potensial yang masih tetap sanggup ikut bersama-sama mengisi kemerdekaan, dan karenanya bisa ikut menikmati kebahagiaan dan kesejahteraan dari kepuasan perjuangannya.
Apabila lansia tidak mendapat kepercayaan untuk tetap memberikan sumbangan kepada pembangunan, idealnya penduduk lansia tinggal bersama keluarga di rumah. Seluruh anggota keluarga memberikan dukungan moril dan materiel menyangkut perawatan yang profesional atau memberikan dukungan kenikmatan sebagai layaknya orang tua yang terhormat. Apabila masih kuat secara fisik bisa saja mempunyai kegiatan penuh, atau menempati perumahan tersendiri. Sebagai selingan, bisa pula dikembangkan beberapa jenis Lembaga yang dapat memberikan fasilitas khusus, misalnya :
a. “Kampus Lansia”, dimana pelayanan dapat dilakukan oleh Lansia sendiri secara
pribadi dengan apabila perlu dapat dibantu oleh anggota dari Lembaga Sosial dan
Organisasi Masyarakat (LSOM) atau swasta;
b. Akomodasi type “Hostel” dengan pelayanan 24 jam oleh swasta atau LSOM. Lansia
dapat melakukan pesanan-pesanan sesuai seleranya sendiri tanpa merasa
memerintah” atau “menyakiti” anak-anak atau cucu-cucunya;
c. Pelayanan Tresna Werdha oleh LSOM atau swasta, dimana lansia dapat menyerahkan
diri untuk beberapa waktu sambil memberi kesempatan kepada keluarga dimana
mereka tinggal untuk “beristirahat” tanpa lansia dirumahnya dan bisa melakukan
kegiatan tanpa rasa rikuh karena ada lansia dalam rumah tangganya. Sebaliknya
lansia dapat memperoleh perawatan ekstra karena Panti ini diasuh secara
profesional.
Keberadaan lansia yang makin membengkak dan potensinya yang tinggi merupakan aset yang makin besar. Kalau mereka diperlukan dengan baik, sebagian bisa menjadi bonus yang sangat menguntungkan. Kearifan dan pengalamannya yang luas bisa mengantar bangsa ini menuju bangsa yang jaya dan sejahtera.

Penulis
Prof Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan

UNICEF Press Centre - Millennium Development Goals

UNICEF Press Centre - HIV/AIDS and children