31 Maret 2010

Kesehatan Reproduksi dan Upaya Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Tasikmalaya

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum secara jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional itu adalah “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial”. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan, yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk diantaranya pembangunan kesehatan sebagaimana diamanatkan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
Hak untuk memperoleh kesehatan adalah hak asasi manusia (HAM), sebagaimana tercantum dalam Pasal 25 United Nations High Commissioner for Human Rights (Komisi Tinggi PBB untuk HAM). Hal tersebut dipertegas pula oleh konstitusi kita, yaitu oleh Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Pada permulaan tahun 1990, upaya kesehatan berkembang menjadi konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Concept). Ini seiring dengan penetapan PBB yang menetapkan tahun itu sebagai “Decade of Human Development”. Namun di banyak negara yang sedang berkembang, pemahaman pembangunan berkesinambungan terbatas pada sumber daya alam (SDA) saja. Padahal substansi yang terpenting dari konsep “Sustainable Development” pada dasarnya adalah pembangunan sumber daya manusia itu sendiri.
Salah satu fokus penting dalam bidang kesehatan yang terkait dengan konsep sustainable development adalah kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi (kespro) didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit dan kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem, fungsi, serta proses reproduksi. Untuk diketahui kita bersama, hak-hak reproduksi tersebut belum terakomodasi di dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sehingga kelompok civil society berupaya untuk mendorong dan mendesak pemerintah untuk memberikan apa yang menjadi hak dasar warga negara Indonesia tersebut.
Salah satu diantara permasalahan pelik dan belum tuntas sampai saat ini berkaitan dengan kesehatan reproduksi di Indonesia adalah permasalahan kematian ibu dan anak. Setiap tahun terdapat 20.000 perempuan Indonesia yang meninggal akibat melahirkan anak mereka. Itu artinya, seperti catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap jam ada dua perempuan meninggal akibat proses kehamilan, persalinan, dan pasca melahirkan. Tingginya angka kematian ibu melahirkan itu disebabkan pelanggaran terhadap hak reproduksi mereka oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang tidak menghormati hak asasi manusia. Di antara pelanggaran hak reproduksi itu adalah pemaksaan hubungan seksual di dalam perkawinan, perjodohan paksa, pemaksaan pernikahan dini, larangan menghentikan kehamilan, pelecehan seksual, dan tidak adanya informasi masalah kesehatan reproduksi. Di samping itu, penyebab tingginya kematian ibu melahirkan bukan semata-mata karena hal yang langsung berhubungan dengan kesehatan, seperti perdarahan, eklamsia, atau kandungan yang gugur. Penyebab tidak langsung adalah di luar kesehatan, yaitu ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, serta transportasi.
Pembangunan sumber daya manusia tidak terlepas dari upaya kesehatan khususnya upaya untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Ibu pada prinsipnya memiliki peran ganda yaitu sebagai pengasuh anak yang secara makro akan ikut menentukan generasi bangsa yang akan datang maupun secara mikro, ibu ikut menentukan ekonomi keluarga. Karena itu pembangunan sumber daya manusia harus dimulai sejak dini yakni pada saat janin masih dalam kandungan ibu dan masa awal pertumbuhannya. Dengan demikian maka kesehatan bayi baru lahir kurang dari satu bulan (neonatal) menjadi sangat penting karena akan menentukan apakah generasi kita yang akan datang dalam keadaan sehat dan berkualitas serta mampu menghadapi tantangan globalisasi.
Kalau melihat data dinas kesehatan kabupaten tasikmalaya tahun 2007 terdapat 315/100.000 jiwa seorang ibu meninggal. Sementara kesepakatan bersama negara kita dengan masyarakat dunia untuk menurunkan angka kematian ibu yang tercantum dalam target millenium development goals (mdgs) di tahun 2015 adalah 102/100.000 jiwa. Penyebab utama kematian ibu di kabupaten tasikmalaya akibat pendarahan, eklamsi, infeksi dan lain-lain. Kemudian masalah kematian ibu ada yang bersifat medis karena mengalami 3 keterlambatan yaitu terlambat mengenal tanda bahaya memutuskan, terlambat merujuk dan terlambat menangani. Dan juga masalah kematian ibu karena non medis terkait dengan masalah sosial budaya, ekonomi dan agama.
Selanjutnya angka kematian bayi menurut data dinas kesehatan kabupaten tasikmalaya tahun 2007 terdapat 46/1000 jiwa seorang bayi meninggal, sementara kesepakatan bersama negara kita dengan masyarakat dunia untuk menurunkan angka kematian bayi yang tercantum dalam target millenium development goals (mdgs) di tahun 2015 adalah 17/1000 jiwa. Penyebab utama kematian bayi baru lahir di kabupaten tasikmalaya karena akibat berat badan lahir rendah (42,9 %),bayi lahir tidak bernafas spontan (22,1 %), tetanus (0,85 %),infeksi (9,7 %) dan lain-lain (22,8 %). Sementara penyebab utama kematian bayi di kabupaten tasikmalaya karena akibat infeksi saluran pernafasan akut (32,38 %),tersedak (27,62 %), diare (3,81 %) dan lain-lain (40 %). Dan penyebab utama kematian balita di kabupaten tasikmalaya karena akibat infeksi saluran pernafasan akut (19,05 %) dan lain-lain (80,95 %). Dari segi pelayanan yang ada dari 351 desa baru ada 191 polindes dan yang layak pakai hanya 47 polindes.
Atas dasar pemikiran itu maka upaya untuk meningkatkan kesehatan maternal dan neonatal menjadi sangat strategis bagi upaya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Keberhasilan upaya tersebut dapat dilihat dari penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi khususnya angka kematian bayi baru lahir (neonatal).
Berdasarkan identifikasi permasalahan serta analisis penyebab kematian ibu dan anak di Indonesia, maka ke depan kita perlu melakukan upaya penanggulangan kematian ibu dan anak secara lebih holistik dan terintegrasi antardepartemen dan instansi terkait, termasuk juga antara pemerintah pusat dan daerah.
Dalam tataran aturan internasional, hak atas kesehatan reproduksi sebenarnya telah dijamin melalui serangkaian konvensi internasional, yang diantara juga ditandatangani atau telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, kesepakatan Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di Cairo, Mesir pada tahun 1994, dan Konferensi Dunia keempat tentang Perempuan di Beijing tahun 1995. Selain itu, hak atas kesehatan reproduksi juga dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, yang menyebutkan bahwa kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia.
Hak atas kesehatan reproduksi termasuk hak untuk mendapat informasi dan pendidikan yang berkait dengan masalah kesehatan reproduksi; hak untuk kebebasan berpikir, termasuk kebebasan dari penafsiran ajaran agama, kepercayaan, filosofi, dan tradisi secara sempit yang akan membatasi kebebasan berpikir tentang pelayanan reproduksi; hak atas kebebasan dan keamanan individu untuk mengatur kehidupan reproduksinya, termasuk untuk hamil atau tidak hamil; hak untuk hidup, yaitu dibebaskan dari risiko kematian karena kehamilan; hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan, termasuk hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan; hak memilih bentuk keluarga; dan hak kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang termasuk jaminan atas hak untuk mendesak pemerintah agar menempatkan masalah kesehatan reproduksi sebagai prioritas dalam kebijakan politik negara.
Dalam konteks prioritas kebijakan negara, maka sudah saatnya sekarang ini memahami kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dengan adanya pergeseran paradigma baru kebijakan pembangunan kesehatan Indonesia melalui program "Indonesia Sehat 2010", maka persoalan kesehatan penduduk dipandang sebagai investasi terpenting, pemenuhan hak asasi manusia, menekankan pada pencegahan daripada pengobatan, terintegrasi dengan sistem pembangunan lainnya, dan kemitraan. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah Peraturan Daerah yang lebih memberi bobot pada hidup sehat, bukan pada hidup sakit.
Hal yang mendesak bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya adalah mengintegrasikan kebijakan kesehatan reproduksi ke dalam rencana strategis pembangunan daerah. Jika salah satu tujuan pembangunan Kabupaten Tasikmalaya adalah terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, maka sejak saat ini Pemda Kabupaten Tasikmalaya harus terus mengupayakan agar implementasi pelayanan kesehatan reproduksi berjalan secara berkesinambungan dan tanpa terputus. Itu artinya adalah bahwa tujuan untuk menyejahterakan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya tidak hanya terbatas untuk saat ini, akan tetapi juga harus mampu menjamin bahwa kesejahteraan masyarakat juga akan berkesinambungan untuk generasi mendatang. Dengan demikian, kebijakan pelayanan kesehatan reproduksi masyarakat Kabupaten Tasikmalaya harus diletakkan dalam bingkai kebijakan pembangunan jangka panjang.

Penulis
H. Ruzhanul Ulum
Anggota Forum Parlemen Untuk Kependudukan dan Pembangunan Kabupaten Tasikmalaya

Tidak ada komentar:

UNICEF Press Centre - Millennium Development Goals

UNICEF Press Centre - HIV/AIDS and children